Kamis, 08 Oktober 2009

Suara Rakyat Bukan Komoditas

Pemilu legislatif 2009 telah berlalu dan sekarang rakyat Indonesia tengah menghadapi pemilu putaran kedua, pemilu presiden. Baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, unsur dasar yang digunakan untuk meraih kesuksesan sebenarnya sama: suara rakyat. Bahwa suara rakyatlah yang sangat menentukan kesuksesan baik kesuksesan para kandidat maupun kesuksesan pemilu itu sendiri.

Tanpa suara rakyat semua unsur-unsur yang menjadi bagian dari pemilu tidak ada artinya sama sekali. Bahkan pemilu itu sendiri, kalau tidak mendapatkan dukungan dari suara rakyat yang representatif, alias lebih didominasi oleh “makhluk putihnya”, jelas pesta demokrasi yang menghabiskan dana triliunan rupiah itu akan sia-sia belaka. Apa artinya pemilu tanpa partisipasi rakyat. Kunci suksesnya pemilu, dalam kontek ini, bukan partai, pemerintah, birokrasi atau apalagi elit politik melainkan rakyat. Ini merupakan cermin dari semangat demokrasi.

Begitu sentralnya dan determinannya suara rakyat, sehingga dalam alam demokrasi suara rakyat disimbolkan sebagai suara Tuhan (vox populi vox dei). Ketika suara rakyat sudah disandingkan dengan suara Tuhan, betapa “sakralnya” dan luhurnya suara itu. Maka betapa dosanya orang-orang yang mengkhianati suara itu. Betapa terkutuknya para politisi yang menyelewengkan suara rakyat tersebut.

Namun kita juga patut bertanya, akankah keluhuran dan kesakralan suara rakyat itu bertahan lama. Ketika suara rakyat itu sudah dimanifestasikan dalam bentuk contrengan, kemudian dikumpulkan dan diperas menjadi angka-angka, masihkah dia mengandung kesakaralan. Apalagi kalau suara rakyat itu sudah berhasil mengantarkan seseorang atau partai politik ke puncak kemenangan atau sepuluh besar, masihkan dia dianggap sebagai suara Tuhan.

Menjadi komoditas

Inilah paradoksnya. Fakta membuktikan, konsep suara rakyat suara Tuhan itu nampak hanya ada dalam dunianya Plato, dunia idea. Ketika suara itu sudah merealitas dalam bentuk guratan pena di atas gambar calon atau parpol tertentu atau ketika suara itu telah memanifestasikan dirinya dalam bentuk jumlah angka-angka yang dikumpulkan, kemudian menjadi alat klasifikasi menang-kalah, faktanya akan menjadi lain. Ia bukan lagi suara Tuhan yang “sakral” itu, tetapi berubah menjadi barang. Barang di sini bukan sekedar benda biasa, tetapi sesuatu yang mengandung keuntungan material dan bebas diperjualbelikan. Inilah yang kemudian disebut komoditas.

Suara-suara rakyat yang sebenarnya tak ternilai harganya itu, ketika sudah masuk dalam kalkulasi politik, akhirnya menjadi komoditas politik. Suara itu akhir nya dengan bebas diperjual belikan untuk kepentingan pragmatis, dijadikan sebagai alat tawar menawar kekuasaan, sebagai alat barter untuk menduduki posisi di kabinet atau pos birokrasi lainnya.

Hidup di dunia yang tengah dikuasai oleh ‘nafsu kapitalisme’, komoditas benar-benar menjadi “kiblat” kehidupan. Komoditas bukan sekedar budaya jual beli yang berjalan wajar, tetapi sudah menjadi obyek pemujaan, menjadi budaya fetish, kata Marx. Kenapa komoditas berubah menjadi fetishisme, menjadi obyek sesembahan, karena kapitalisme telah berhasil mengubah segalanya menjadi komoditas. Apapun bentuknya, tak peduli apakah itu suara iman, suara spiritual, suara Tuhan, suara Iblis, suara orang miskin dan sebagainya, kalau sudah berada di tangan kapitalisme, maka sontak akan berubah menjadi komoditas.

Barang, seperti kata Goenawan Mohamad, adalah sesuatu yang kadang konkrit dan kadang abstrak. Begitu juga dengan suara Tuhan, meskipun ia sebenarnya lebih berwujud nilai yang abstrak, namun ketika jatuh ke tangan para politisi, seketika itu ia menjadi barang dikomoditaskan. Nilai yang ada di dalamnya bukan lagi nilai-nilai luhur yang mencerminkan kearifan dan keadilan, melainkan mutlak profite kekuasaan. Tinggi dan luhurnya suara itu, tidak lagi terletak pada dirinya sendiri, tetapi lebih berada pada nilai tukarnya. Para politisi yang bekerja mati-matian mendapatkan suara rakyat, sehingga tak jarang berlaku curang, penuh kamuflase, hipokrit, memanipulasi dan sebagainya, adalah lebih melihat unsur komoditasnya dalam suara tersebut.

Suara rakyat yang sudah terredusir menjadi komoditas itu akhirnya menjadi satu fungsi pragmatis :meraih kekuasaan. Kekuasaan siapa? Kekuasaan mereka yang berhasil meraup suara itu. Suara yang sudah terkomodifikasikan itu hanya berfungsi untuk memenuhi dan mensupport ambisi para politisi.

Amanah


Parpol-parpol yang sudah memenangkan pemilu legislatif kemarin dan calon presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti harus mampu merubah paradigmanya dalam menyikapi suara rakyat yang berhasil mereka raih. Satu hal yang harus disadari oleh para pemimpin politik adalah bahwa suara rakyat sebagai simbol dari suara Tuhan bukanlah komoditas, melainkan amanah.

Sebagai sebuah amanah suara itu harus digunakan sesuai dengan aspirasi si pemberi amanah itu. Selama ini, karena lebih diposisikan sebagai komoditas, suara rakyat sering digunakan sesuai dengan ambisi para politisi itu yang tak jarang sangat kontradiktif dengan kehendak rakyat sang pemberi suara. Dengan modal suara itu, para politisi berhasil mewujudkan ambisi politiknya, tetapi ketika menikmati posisinya itu, kebanyakan mereka mabuk dan tidak lagi ingat dengan rakyatnya.

Rakyat, lewat suaranya, memberi amanah kepada para pemimpin, pada hakekatnya bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan bersama. Sebuah kebahagiaan yang tidak hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, tetapi mencakup semua unsur masyarakat. Dengan suaranya itu rakyat menghendaki adanya perbaikan kehidupan di berbagai bidang kehidupan. Dengan suaranya itu mereka mencita-citakan agar dirinya bisa lepas dari kemiskinan yang menjeratnya, agar anak-anaknya bisa terus sekolah, agar ia bisa mempunyai lapangan kerja dan sebagainya.

Para pemimpin maupun partai politik yang sudah berhasil mengantongi suara rakyat itu sekarang maupun nanti paska pilpres pada hakekatnya sedang memikul beban berat untuk merealisasikan keinginan-keinginan masyarakat itu. Bila ini tidak bisa dipenuhi oleh para politisi, mereka sama halnya mengkhianati dan menyelewengkan amanah rakyat. Suara rakyat sangat mahal. Ia hakekatnya bukan komoditas, melainkan tanggung jawab.

Muhammad Muhibbuddin: Direktur Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY) dan koordinator studi filsafat “Linkaran ‘06” Fak. Ushuluddin Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar