Kamis, 08 Oktober 2009

Hubungan agama dan negara telah diperdebatkan sejak lama. Bahkan, masalah ini dianggap pemicu pertama kalinya konflik intelektual dalam kaitannya beragama dan bernegara. Hubungan agama dan negara, dalam perjalanannya, tentu tidak dapat lepas dari pengaruh warisan budaya maupun peradaban yang membentuknya.

Dalam kronologi waktu, ada tiga peradaban besar yang mempunyai peranan penting terhadap pembentukan tradisi keilmuan dan pemikiran politik dewasa ini. Ketiganya secara berurutan, yaitu, Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam dengan masing-masing sumbangan khasnya. Peradaban Judeo-Kristiani dan Islam tidak lebih dari penerus tongkat estafet yang telah diberikan oleh induk peradaban dunia (Yunani-Romawi) sebelumnya terkait tradisi pemikiran politik.

Arnorld Toynbee mengatakan, peradadaban Judeo-Kristiani yang berkembang awal abad XII-XIII dianggap tidak terlalu memberikan sumbangan berarti bagi ”Dunia Barat” dewasa ini, karena apa yang kita lihat terhadap peradaban Barat modern sekarang merupakan kelanjutan dari keinginan untuk menghidupkan kembali dan pengulangan pandangan hidup orang-orang Yunani yang telah ada ribuan tahun lalu. Seperti cita-cita kebebasan, optimisme, sekulerisme, dan tradisi kehidupan beragama-bernegara sebagai entitas yang berbeda. Sementara, peradaban Islam tampaknya tidak begitu mampu mewarnai dan berkontribusi banyak terhadap wajah sisitem politik dunia, karena memang ada usaha-usaha untuk meminggirkannya dari percaturan politik internasional.

Konsep Sekulerisme

Konsep sekuler niscaya lahir dari Barat agaknya tepat dikarenakan konflik sejarah antagonistik (pertentangan) yang membidaninya. Hubungan agama dan negara memang mempunyai sejarah yang tidak harmonis, hal ini terjadi pada abad pertengahan.

Piagam Magna Charta pada masa renaisans dan aufklarung merupakan daya dobrak luar biasa sebagai bentuk perlawanan manusia atas dominasi kekuasaan Gereja yang dianggap berlebihan. Abad inilah yang melahirkan pemberontakan terhadap Gereja untuk kemudian memunculkan kebebasan intelektual (berpikir) dan beragama sebagai wawasan baru dalam dimensi hubungan antara agama dengan negara secara moralitas.

Sebelumnya, hal yang melatarbelakangi masyarakat Barat untuk berpikir bahwa praktik kehidupan bernegara harus lepas sepenuhnya dari Gereja (sekuler) adalah trauma sejarah pahit. Bahwa seperti kebebasan berpikir maupun bentuk-bentuk pemikiran ilmiah yang bertolak belakang dengan doktrin gereja dan Alkitab dibasmi dengan cara membakar karya-karya keilmuan (buku-buku) dan menyiksa atau membunuh para ilmuan.

Gereja menggunakan lembaga pengadilan inkuisisi untuk menghadapi kaum cendekiawan dan pelopor ilmu pengetahuan. Bukan adu argumentasi ilmiah yang digunakan untuk menghadapi kaum cendekiawan dan para ilmuan, melainkan cara-cara koersif, kekerasan, dan kekejaman dengan membakar hidup-hidup atau menyiksa sampai mati.

Namun, pada akhirnya konsepsi yang bersifat rasionalisme, empirisme, dan humanisme yang diperjuangkan Galileo Galilei, Nicholas Copernicus, Johanes Kepler, Weitzman, Bruno, Sarvanolla serta yang lainnya ternyata mampu mengalahkan dogma dan doktrin gereja.

Semenjak era ini, agama (gereja) mulai dijauhi oleh fisafat dan ilmu pengetahuan beserta kaum cendekiawannya. Semakin jauhnya ilmu pengetahuan dengan agama, hingga keduanya sulit untuk dipertemukan. Kemudian bentuk perlawanan ini diteruskan oleh kaum cendekiawan abad renaisans seperti Charles Darwin, Karl Marx, Benedict Spinoza, Voltaire, Sigmund Freud, dan lainnya yang semakin memperlebar jurang pemisah antara agama dan negara.

Tidak heran jika kemudian konstruksi teori-teori filsafat dan ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan umumnya bertolak belakang dengan ajaran doktrin-doktrin Gereja, seperti teori evolusi Darwin yang menolak keras doktrin kreasionisme ajaran kitab suci dan Gereja maupun paham komunismenya Marx yang menganggap bahwa agama adalah candu.

Konsep Integralistik
Apa yang terjadi di Barat mungkin akan sangat berbeda dengan hal yang telah terjadi dalam tradisi pemikiran politik dalam Islam. Muhammad, selain menjadi pemimpin agama, ia juga menjadi kepala negara (Madinah). Ini kemudian yang membentuk persepsi masyarakat Timur Tengah mengenai sosok seorang Muhammad adalah manusia sempurna, di mana ia tidak hanya mengetahui masalah ukhrawi dalam konteks agama, tetapi juga masalah duniawi melalui praktik bernegara.

Integralistik di sini bukan dipahami seperti yang telah dikonsepsikan Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengenai negara yang berpendapat bahwa negara itu bukan alat melainkan tujuan, karena itu bukan negara yang harus mengabdi pada rakyat melainkan sebaliknya. Integralistik ini juga berbeda dengan konsepsi Prof Soepomo berdasarkan premis bahwa kehidupan kebangsaan dan kenegaraan terpatri dalam suatu totalitas. Maksudnya, negara tidak boleh berpihak pada kelompok terkuat atau mayoritas dan menindas kelompok yang lemah dan minoritas, tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apa pun dalam kehidupan bernegara (baca: Pemikiran Politik Barat).

Hubungan agama dan negara dalam tradisi pemikiran politik Islam tidak begitu banyak mempunyai trauma sejarah yang pahit seperti di Barat, dan kalau pun ada sifatnya apologis. Peran sentral Muhammad dalam praktik beragama sekaligus bernegara yang secara tidak tegas memisahkan satu sama lain, mewariskan praktik tradisi berpolitik yang berbeda dengan tradisi berpolitik di Barat.

Pasca wafatnya Muhammad, masyarakat setempat yang tergabung dalam umat, sempat merasakan kesulitan dan mengalami perdebatan untuk proses siapa yang berhak menggantikannya, karena cara dan aturan dalam transisi pergantian kekuasaan tidak diwariskan Islam secara jelas.

Akibatnya, hal yang dilakukan Muhammad semasa hidupnya terkait praktik bernegara menjadi satu-satunya referensi bagi umat berikutnya dalam konteks yang sama. Konsep imamah yang lahir setelah meninggalnya Muhammad adalah nama lain dari paradigma integralistik, yaitu agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus lembaga agama. Konsepsi seperti ini merupakan manifestasi dari praktik bernegara Muhammad semasa hidupnya.

M. Fairuz Ad-dailami: Peneliti pada Censir (Center For Islamic Studies and International Relations) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar