Kamis, 08 Oktober 2009

Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU

Sembilan butir Pedoman Berpolitik Warga NU
yang dicetuskan dalam Muktamar NU XVIII di Krapayak Yogyakarta tahun 1989:

1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;

2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat;

3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama;

4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama;

6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah;

7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan;

8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama;

9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyatukan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan. (www.nu.or.id)

Selasa, 13 Januari 2009 04:04

Semarang, NU Online
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Mustafa Bisri (Gus Mus) mengingatkan seluruh warga NU untuk menerapkan sembilan pedoman berpolitik dalam menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.

Sembilan pedoman berpolitik warga NU tersebut, di antaranya, berpolitik bagi NU, mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Politik, bagi NU, kata Gus Mus, adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

"Berpolitik, bagi NU, juga harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama," kata Gus Mus dalam Silaturahmi Nasional Ulama NU di Pesantren Edi Mancoro, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/1).

Gus Mus mengingatkan bahwa dalam pedoman berpolitik bagi warga NU juga menyebutkan bahwa berpolitik, bagi NU, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

"Sembilan butir pedoman berpolitik itu sebenarnya indah dan ternyata nasibnya sama dengan sembilan butir Khitah NU. Di luar NU, mendapat sambutan dan sanjungan luar biasa, tetapi di kalangan NU sendiri sekadar dibaca," katanya.

Warga NU, tambah Gus Mus, seolah-olah enggan dan malas menerapkan pedoman berpolitik yang telah dimiliki, sehingga kelakuan politik warga NU yang terjun di politik tidak dapat dibedakan dengan politikus lain yang tidak memiliki pedoman.

Menurut Gus Mus, jika warga NU yang tidak melek huruf dan tidak membaca pedoman berpolitik mungkin bisa dimaklumi, karena mereka belum terbiasa dengan budaya baca dan tidak tertarik dengan persoalan politik.

"Jika elit NU yang memiliki semangat politik tidak membaca pedomannya sendiri, sama dengan elit NU yang berjalan tidak di atas Khitah-nya. Sebenarnya, mereka awam tentang NU atau awam tentang politik, atau justru awam tentang keduanya," tegasnya.

Acara Silaturahmi Nasional Ulama NU itu, diikuti sekira 300 kiai, di antaranya, dari Jawa Barat KH Mukhlas Dimyati dan KH Tantowi Musadad; dari Jawa Timur KH Miftakhul Akhyar dan KH Aziz Mansur; dari Yogyakarta KH Asyhari Abta dan KH Najib Abdul Qodir; dan dari Jateng KH Dimyati Rois, KH Mahfud Ridwan, dan KH Masruri Mugni. (ant/man)

Maklumat PBNU tentang NU dan Pilkada

Hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang marak belakangan ini, tampaknya cukup berpengaruh pada Nahdlatul Ulama (NU). Kader-kader NU pun bermunculan untuk tampil dan berpartisipasi dalam pesta demokrasi lokal itu.

Sejumlah masalah muncul. Tak sedikit pula dari pilkada itu berakhir dengan tindakan kekerasan. NU kena getahnya. Tarik-menarik kepentingan politik praktis yang melibatkan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia itu pun tak terhindarkan.

Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi, beberapa waktu lalu melontarkan pernyataan kontroversial. Menurut dia, sebaiknya pilkada dihapuskan. Kepala daerah lebih baik dipilih oleh dewan perwakilan rakyat di masing-masing daerah.

Namun, pernyataannya tak memuaskan sebagian kalangan. Dalam siaran pers yang diterima NU Online, ia menyampaikan pendapatnya secara lengkap, sebagai berikut:

1. Saya mengetengahkan pemikiran agar pilkada langsung dikembalikan ke pemilihan oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dimaksudkan untuk mengurangi beban polarisasi dalam masyarakat yang menumbuhkan konflik, persaingan tidak sehat, tumbuhnya broker-broker amatiran, serta ganasnya money politic (politik uang) di kalangan masyarakat luas. Hal ini, sama sekali bukan sebuah asumsi bahwa di tangan DPRD, rekayasa dan money politic akan hilang. Tapi, paling tidak, dibatasi eksesnya (akibat buruknya). Saya sadar bahwa elit politik pasti banyak yang keberatan. Sedangkan para pakar kenegaraan banyak yang setuju.

2. Karena pilkada tetap berjalan dan seterusnya berjalan, maka, tidak bisa lain, kecuali PBNU harus menentukan aturan main buat pengurus NU dan warga Nahdliyin (sebutan untuk warga NU).

3. Aturan tersebut cukup sederhana, yakni, warga NU bebas memilih; institusi NU atau simbol dan fasilitas NU tidak boleh dilibatkan. Pengurus harian NU atau badan otonom harus nonaktif selama proses pencalonan. Apabila yang bersangkutan terpilih, otomatis lepas dari pengurus karena tidak boleh dirangkap dengan jabatan publik. Apabila tidak terpilih, dia boleh kembali dengan persetujuan pihak yang dulunya memilih.

4. Banyak kritik pedas, bahkan cercaan terhadap beberapa tokoh NU yang mencalonkan atau dijadikan calon...... ‘sebagai tidak Khittah dan bersyahwat politik’. Padahal, Khittah 1926 dilakukan institusional. NU, sebagai organisasi, tidak mungkin ‘menghilangkan’ hak seorang warga negara yang ketepatan jadi NU untuk berpolitik. Yang bisa adalah mengatur mekanismenya. Sehingga, masalahnya bukanlah ‘syahwat’ politik atau ‘impotensi politik’. Namun, pengaturan mekanik yang sinergis. Cercaan itu disebabkan banyak hal. Misalnya: belum tahu duduk masalahnya, dirugikan kepentingan politiknya, atau belum kebagian porsi politik.

5. Contoh: Fauzi Bowo saat mencalonkan Gubernur DKI Jakarta, ia nonaktif sebagai Ketua Pengurus Wilayah NU. Jabatannya kemudian dilimpahkan pada Muhyidin Lc. Sekarang, ia terpilih dan proses pergantian SK (Surat Keputusan) oleh PBNU harus segera dilakukan. M Adnan (Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah), saat ini telah nonaktif, seharusnya juga demikian Saifullah Yusuf. Sedangkan Ali Maschan Moesa (Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur), harus nonaktif juga ketika nanti deklarasi (pencalonannya).

6. Banyaknya tokoh NU yang diambil sana-sini (baca: ditarik banyak kepentingan politik praktis) tidak mengindikasikan turunnya martabat NU selama aturan main dipakai. Dan, ...apabila tidak selalu bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), hal itu karena dua faktor. Pertama, kebebasan warga NU dan sudah lama ada gejala PKB gagal mewakili wacana dan aspirasi warga NU.

7. Terlalu banya pihak yang sangat khawatir kalau NU bersatu dalam satu titik pilihan menciptakan keruwetan tersendiri yang kadang-kadang menggunakan orang ‘dalam’ NU.

8. Jarang ada kiai sepuh yang mencalonkan jadi kandidat. Yang ada adalah beliau-beliau (para kiai) ditarik sana-sini sehingga berbahaya. Sedangkan, kebiasaan kiai selalu husnudzon (berbaik sangka) sehingga sering lupa bahwa yang dihadapi adalah politisi. Hal ini menjadi berat karena dalam 5 tahun, kita melakukan pemilihan umum sebanyak 6 kali: tingkat desa, tingkat kota/kabupaten, tingkat provinsi, pemilihan presiden, pemilihan anggota DPR RI, pemilihan anggota DPD RI.

9 . Kalau ada warga NU memiliih sesama orang NU atau yang cocok dengan NU, apanya yang salah? Kebebasan telah digariskan. Maka, kita ambil semua konsekuensinya.


Pengurus Besar Nahdlatul Ulama



Hasyim Muzadi
Ketua Umum

Hubungan agama dan negara telah diperdebatkan sejak lama. Bahkan, masalah ini dianggap pemicu pertama kalinya konflik intelektual dalam kaitannya beragama dan bernegara. Hubungan agama dan negara, dalam perjalanannya, tentu tidak dapat lepas dari pengaruh warisan budaya maupun peradaban yang membentuknya.

Dalam kronologi waktu, ada tiga peradaban besar yang mempunyai peranan penting terhadap pembentukan tradisi keilmuan dan pemikiran politik dewasa ini. Ketiganya secara berurutan, yaitu, Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam dengan masing-masing sumbangan khasnya. Peradaban Judeo-Kristiani dan Islam tidak lebih dari penerus tongkat estafet yang telah diberikan oleh induk peradaban dunia (Yunani-Romawi) sebelumnya terkait tradisi pemikiran politik.

Arnorld Toynbee mengatakan, peradadaban Judeo-Kristiani yang berkembang awal abad XII-XIII dianggap tidak terlalu memberikan sumbangan berarti bagi ”Dunia Barat” dewasa ini, karena apa yang kita lihat terhadap peradaban Barat modern sekarang merupakan kelanjutan dari keinginan untuk menghidupkan kembali dan pengulangan pandangan hidup orang-orang Yunani yang telah ada ribuan tahun lalu. Seperti cita-cita kebebasan, optimisme, sekulerisme, dan tradisi kehidupan beragama-bernegara sebagai entitas yang berbeda. Sementara, peradaban Islam tampaknya tidak begitu mampu mewarnai dan berkontribusi banyak terhadap wajah sisitem politik dunia, karena memang ada usaha-usaha untuk meminggirkannya dari percaturan politik internasional.

Konsep Sekulerisme

Konsep sekuler niscaya lahir dari Barat agaknya tepat dikarenakan konflik sejarah antagonistik (pertentangan) yang membidaninya. Hubungan agama dan negara memang mempunyai sejarah yang tidak harmonis, hal ini terjadi pada abad pertengahan.

Piagam Magna Charta pada masa renaisans dan aufklarung merupakan daya dobrak luar biasa sebagai bentuk perlawanan manusia atas dominasi kekuasaan Gereja yang dianggap berlebihan. Abad inilah yang melahirkan pemberontakan terhadap Gereja untuk kemudian memunculkan kebebasan intelektual (berpikir) dan beragama sebagai wawasan baru dalam dimensi hubungan antara agama dengan negara secara moralitas.

Sebelumnya, hal yang melatarbelakangi masyarakat Barat untuk berpikir bahwa praktik kehidupan bernegara harus lepas sepenuhnya dari Gereja (sekuler) adalah trauma sejarah pahit. Bahwa seperti kebebasan berpikir maupun bentuk-bentuk pemikiran ilmiah yang bertolak belakang dengan doktrin gereja dan Alkitab dibasmi dengan cara membakar karya-karya keilmuan (buku-buku) dan menyiksa atau membunuh para ilmuan.

Gereja menggunakan lembaga pengadilan inkuisisi untuk menghadapi kaum cendekiawan dan pelopor ilmu pengetahuan. Bukan adu argumentasi ilmiah yang digunakan untuk menghadapi kaum cendekiawan dan para ilmuan, melainkan cara-cara koersif, kekerasan, dan kekejaman dengan membakar hidup-hidup atau menyiksa sampai mati.

Namun, pada akhirnya konsepsi yang bersifat rasionalisme, empirisme, dan humanisme yang diperjuangkan Galileo Galilei, Nicholas Copernicus, Johanes Kepler, Weitzman, Bruno, Sarvanolla serta yang lainnya ternyata mampu mengalahkan dogma dan doktrin gereja.

Semenjak era ini, agama (gereja) mulai dijauhi oleh fisafat dan ilmu pengetahuan beserta kaum cendekiawannya. Semakin jauhnya ilmu pengetahuan dengan agama, hingga keduanya sulit untuk dipertemukan. Kemudian bentuk perlawanan ini diteruskan oleh kaum cendekiawan abad renaisans seperti Charles Darwin, Karl Marx, Benedict Spinoza, Voltaire, Sigmund Freud, dan lainnya yang semakin memperlebar jurang pemisah antara agama dan negara.

Tidak heran jika kemudian konstruksi teori-teori filsafat dan ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan umumnya bertolak belakang dengan ajaran doktrin-doktrin Gereja, seperti teori evolusi Darwin yang menolak keras doktrin kreasionisme ajaran kitab suci dan Gereja maupun paham komunismenya Marx yang menganggap bahwa agama adalah candu.

Konsep Integralistik
Apa yang terjadi di Barat mungkin akan sangat berbeda dengan hal yang telah terjadi dalam tradisi pemikiran politik dalam Islam. Muhammad, selain menjadi pemimpin agama, ia juga menjadi kepala negara (Madinah). Ini kemudian yang membentuk persepsi masyarakat Timur Tengah mengenai sosok seorang Muhammad adalah manusia sempurna, di mana ia tidak hanya mengetahui masalah ukhrawi dalam konteks agama, tetapi juga masalah duniawi melalui praktik bernegara.

Integralistik di sini bukan dipahami seperti yang telah dikonsepsikan Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengenai negara yang berpendapat bahwa negara itu bukan alat melainkan tujuan, karena itu bukan negara yang harus mengabdi pada rakyat melainkan sebaliknya. Integralistik ini juga berbeda dengan konsepsi Prof Soepomo berdasarkan premis bahwa kehidupan kebangsaan dan kenegaraan terpatri dalam suatu totalitas. Maksudnya, negara tidak boleh berpihak pada kelompok terkuat atau mayoritas dan menindas kelompok yang lemah dan minoritas, tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apa pun dalam kehidupan bernegara (baca: Pemikiran Politik Barat).

Hubungan agama dan negara dalam tradisi pemikiran politik Islam tidak begitu banyak mempunyai trauma sejarah yang pahit seperti di Barat, dan kalau pun ada sifatnya apologis. Peran sentral Muhammad dalam praktik beragama sekaligus bernegara yang secara tidak tegas memisahkan satu sama lain, mewariskan praktik tradisi berpolitik yang berbeda dengan tradisi berpolitik di Barat.

Pasca wafatnya Muhammad, masyarakat setempat yang tergabung dalam umat, sempat merasakan kesulitan dan mengalami perdebatan untuk proses siapa yang berhak menggantikannya, karena cara dan aturan dalam transisi pergantian kekuasaan tidak diwariskan Islam secara jelas.

Akibatnya, hal yang dilakukan Muhammad semasa hidupnya terkait praktik bernegara menjadi satu-satunya referensi bagi umat berikutnya dalam konteks yang sama. Konsep imamah yang lahir setelah meninggalnya Muhammad adalah nama lain dari paradigma integralistik, yaitu agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus lembaga agama. Konsepsi seperti ini merupakan manifestasi dari praktik bernegara Muhammad semasa hidupnya.

M. Fairuz Ad-dailami: Peneliti pada Censir (Center For Islamic Studies and International Relations) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Hasil pemilihan umum legislatif 2009 lalu menunjukkan perolehan suara partai-partai politik bernuansa agamis turun drastis. Dari data perolehan suara, seperti PKB di tingkat propinsi Jawa Timur misalnya, di tahun 2004 memperoleh suara sebanyak 6,198,314 dan berhasil menempatkan 30 jatah kursi, kini merosot pada kisaran 13 kursi. Beberapa pengamat menilai hal ini sebagai perubahan minat masyarakat atas peran ulama.

Kharisma dan keunggulan keilmuan agama dalam jangka beberapa bulan terenggut. Pijakan lama yang mengedepankan sisi keagamaan sebagai bagian pendulang suara kini disangsikan. Klaim kebenaran bahwa pendampingan moralitas di masyarakat dapat menguatkan simpati masyarakat hari ini mulai dipertaruhkan. Jika pendampingan moralitas di masyarakat berbanding lurus dengan simpatisme atau kepatuhan masyarakat, mengapa perolehan suara partai-partai agamis tidak tercapai? Apakah karena ulama overlaping dari trah-nya sebagai pendidik masyarakat?

Suasana kekeluargaan masih kental dibenak para ulama, ketika banyak dari wakil legislatif pusing kepala dengan kekalahan, ulama makin dekat dengan rasa kepercayaan diri, bahwa semua ini adalah pelajaran tentang kehidupan, lebih-lebih demi tercapainya pendidikan demokrasi di negara ini. Mengamati pendidikan demokratis ala ulama, sebenarnya tidak ada kata kalah demi misi pengabdian pada masyarakat. Semua adalah ”sarwa ibadah”, sebuah ranah teologis yang tetap dipegang ulama guna menjebatani kebutuhan dunia dan akhirat kelak.

Dalam konteks perjalanan sejarah, kehadiran ulama selalu ada di pentas politik, baik politik kebangsaan maupun kerakyatan. Di pentas kebangsaan seperti keterwakilannya menyetujui azas Pancasila sebagai ideologi tunggal berbangsa dan bertanah air, yang diputuskan dari hasil Munas Alim Ulama diujung tahun 1983 di Situbondo. Dan di politik kerakyatan, seperti pendampingan kemasyarakatan dalam bentuk pendidikan agama dan praktek keagamaan itu sendiri. Perjuangan ini tidak cukup satu, dua tahun, sepanjang detik-detik bangsa ini merdeka, kiai tidak pernah lepas tanggungjawab untuk membesarkan bangsa.

Sebagai individu yang berpolitik, kiai ikut menunaikan kewajiban membebaskan dari ketertindasan. Masih ingat di buku sejarah, Resolusi Jihad yang didegung-degungkan KH Hasyim Asy’ari melawan pembodohan Jepang lewat ”Saikere”, yaitu menundukkan diri hampir 90 derajat menyamai kondisi ruku’ dalam shalat. Ini adalah satu bukti politis perjuangan ulama, bahwa kita berhak untuk berharkat dan bermartabat. Kemerdekaan untuk melakukan kebudayaan tidak harus dipaksa-paksakan. Nilai sosial-budaya harus sesuai dengan amanat rakyat, lebih-lebih pada nuansa yang bersifat agamis tidak harus tunduk pada kekuasaan tertentu.

Maka, dengan kondisi sekarang di mana banyak ulama yang tidak memenuhi kuota pencapain suara di pemilihan legislatif, jangan lantas dijadikan atribut maupun streotipe negatif, bahwa ulama tidak lagi memiliki sensibilitas sosial dan berpengaruh di masyarakat. Pandangan ini bisa salah sama sekali. Dengan menerima segala keputusan, dikiblatkan pada kemerdekaan masyarakat pemilih, malah menjadi angin segar tumbuhnya pendidikan demokratis yang mulai dirasa di masyarakat.

Mungkin harus ada jawaban atas pertanyaan tentang seberapa besar pengaruh pendidikan moralitas yang mestinya menjadi pendulang suara dan menjadi faktor vital pemenangan pemilu? Perlu difahami, kepentingan pendidikan moral, khususnya agama, adalah nilai ketauladanan diri untuk selalu menghambakan diri pada Sang Pencipta yang tercermin pada rasa keimanan seseorang. Sedang rasa keimanan tidak bisa dinilai dari seberapa besar ketundukan pada sesama manusia. Tetapi, ketundukan ini sebatas penghormatan yang tidak melampaui nilai teologis, yakni penghormatan atas transmisi keilmuan yang senyatanya hanya sebagai pelantara tumbuhnya rasa keimanan, tidak lebih.

Selain itu, perlu dipertimbangkan juga dua hal; nalar keagamaan dengan praktek keagamaan itu sendiri. Jika nalar keagamaan menjadi akar di mana seseorang dapat menentukan pilihan-pilihan politisnya, tidak lain karena ada setting sejarah yang melatarbelakangi bagaimana seseorang tersebut memahami realitas agamanya. Misalnya, pada zaman Nabi Muhammad, nalar masyarakat Islam (baca, Arab) pada waktu itu, agama yang negara, negara yang agama. Dari situ kemudian timbul konflik paska wafatnya beliau. Dan bermunculanlah pemikir-pemikir Islam awal, di mana hal ini lebih banyak dilahirkan dari faktor-faktor persinggungan politik. Akibatnya, perkembangan Islam sampai sekarang tidak bisa terbedakan antara shiyasah, daulah, dan agama, walaupun ada jedah di antara faktor–faktor tersebut.

Itulah sebabnya mengapa disebut sebagai nalar keagamaan. Artinya, bahwa agama sampai kapanpun, kalau tidak bisa melakukan kritik terhadap tradisi keagamaannya, maka ia akan tetap menjadi sesuatu yang manjur, yang rentan untuk dipergunakan dalam perselingkuhan politik bahkan perselingkuhan intelektual. Dengan maksud, nalar keagamaan adalah peran ulama, dalam konteks Indonesia termasuk kiai, dan sebenarnya menurut geneologinya dapat ditarik pada realitas peran ditradisi keagamaan dunia Islam itu sendiri, dalam hal ini Islam ala perjuangan pesantren.

Jadi, jika dahulu ulama berjuang diwilayah nonstruktural, menjaga jarak dengan pemerintahan dan berbasis di masyarakat bawah, semisal menjadi petani-agamis di pedesaan, adalah praktek keagamaan yang didorong kepercayaan bahwa nalar keagamaan yang dibangun saat itu adalah menjauhi dari ”kesesatan politik”, di mana hal ini lebih memungkinkan untuk melakukan pemurnian misi dakwah itu sendiri daripada legalitas kekuasaan yang semu. Sehingga, istilah Abdul Munir Mulkhan, kaum santri adalah bentuk lain dari tradisi ”oposan” yang melakukan tindakan politis dengan menjadi oposisi pemerintahan di luar struktural.

Mengambil pemikiran Al-Jabiri dalam kritik nalar Arab, nalar keagamaan pada tradisi masyarakat Islam terbagi atas dua struktur; terdalam dan struktur terluar, yang secara pola-pola sosiologi masyarakat Islam terbagi tiga faktor, ada kabilah (suku atau kelompok), ghonimah (harta rampasan perang atau secara kontektual dimaknai akset ekonomi), dan yang terakhir aqidah yakni kesamaan teologi. Hal inilah yang dalam sejarah perhelatan agama dan politik dunia Islam menjadi titik dominan.

Untuk itu, dalam rangka merintis kembali simpatisme ulama dalam kehidupan politik praktis, patut kiranya diselami dahulu pergerakan ulama sesuai analisi Al-Jabiri di atas. Pertama, kekhususan kelompok ”kabilah” dikubu kiai diperoleh dari perjalanan keintelektualan mereka, yang jika ditinjauh dari analisis Azzumardi Azra, dirintis dari jaringan ulama Timur Tengah, khususnya di wilayah sentral, Makkah. Namun, perubahan intelektualitas kiai ini terputus seiring perubahan faham teologis di tanah suci. Pada akhirnya, penguatan kekelompokan kiai berkutat pada jaringan pesantren di Nusantara dengan mengedepankan keorganisasian masyarakat seperti NU. Pendelegasian santri dari satu pesantren ke pesantren merupakan indikasi perputaran atau transformasi informasi dan kontrol keilmuan dari satu ke yang lain.

Kedua, ghonimah atau penguat ekonomi. Dalam perjalanan pergulatan kiai, cikal-bakal berdirinya pesantren banyak didukung oleh keuletan kiai dalam pembubakan atau pembukaan lahan sebagai tempat berdiam diri. Kesempatan ini juga dipergunakan kiai untuk membuka lahan pekerjaan bagi masyarakat yang mengiringi keberadaannya. Sering kita dengar bahwa tanah perdikan pesantren berawal dari hibah keluarga, atau tanah-tanah mati, tak produktif yang kemudian disulap menjadi tanah perkampungan agama. Hal ini yang menyebabkan tanah-tanah milik kiai adalah tanah-tanah persawahan atau sejenisnya, yang menjadikan mereka sebagai tuan-tuan tanah.

Pada perkembangan masyarakat selanjutnya, keniscayaan perubahan menyebabkan ladang pertanian sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Ditambah diinternal kehidupan rumah tangga kiai terjadi transformasi keilmuan pada generasi-generasi selanjutnya. Generasi-generasi pesantren yang mulai memasuki kehidupan serba modern, baik keintelektualan maupun gaya hidup personal. Begitu pula keterbukaan pesantren menerima masukan pendidikan modern dengan memasukkan muatan pendidikan formal sebagai adopsi dari tuntutan masyarakat. Walhasil, perubahan ini, khususnya yang terjadi pada masyarakat, pesantren yang dinanungi kiai harus mencari lahan tandingan sebagai penganti support pendanaan dari masyarakat. Pencarian lahan yang ”mudah” untuk menganti faktor tersebut adalah terjun ke medan politik salah satunya, karena di lahan ini ada nilai positif untuk terus menggandeng masyarakat mendengarkan kebutuhan-kebutuhan mereka.

Terakhir, kesamaan aqidah. Sebagaimana dijelaskan pada poin pertama, keterputusan dengan jaringan ulama Timur Tengah mengubah wajah teologi di Indonesia. Banyak bermunculan gaya Islam transnasional yang memiliki keterkaitan kepentingan gerakan islam internasional (baca, kepentingan berdirinya negara Islam dibawah jargon khilafah). Ini merupakan inti perjuangan ulama, karena indikasi perubahan stabilitas nasional yang disisipkan dalam muatan aqidah Islam transnasional merongrong praktek keberagamaan Islam ala pesantren yang dikenal lokalitas. Keberhasilan jaringan islam transnasional di beberapa negara di antaranya Indonesia makin menunjukkan kebutuhan kiai dalam percaturan politis.

Maka kurang tepat jika keputusan kiai dalam terjun politis dimaknai sebagai kesalahan perjuangan sebagaimana difahami bahwa perjuangan kiai hanya teruntuk pada pendidikan masyarakat. Kekalahan suara di beberapa partai yang dinanungi personal-personal kiai hanyalah kelumrahan dari sistem demokrasi yang menuntut kerja multitaktik dan strategi dalam misi pemenangan pemilu. Oleh sebab itu, turunnya kiai ke poltik hendaknya dinilai sebagai kewajiban personal sebagai insan politis di mana pun berada.

M. Miftah Wahyudi
: Pemred Buletin Riyaadlotul Muhtaajiin di Komunitas Orang Gresik Beriman (OGB), Jawa Timur

Suara Rakyat Bukan Komoditas

Pemilu legislatif 2009 telah berlalu dan sekarang rakyat Indonesia tengah menghadapi pemilu putaran kedua, pemilu presiden. Baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, unsur dasar yang digunakan untuk meraih kesuksesan sebenarnya sama: suara rakyat. Bahwa suara rakyatlah yang sangat menentukan kesuksesan baik kesuksesan para kandidat maupun kesuksesan pemilu itu sendiri.

Tanpa suara rakyat semua unsur-unsur yang menjadi bagian dari pemilu tidak ada artinya sama sekali. Bahkan pemilu itu sendiri, kalau tidak mendapatkan dukungan dari suara rakyat yang representatif, alias lebih didominasi oleh “makhluk putihnya”, jelas pesta demokrasi yang menghabiskan dana triliunan rupiah itu akan sia-sia belaka. Apa artinya pemilu tanpa partisipasi rakyat. Kunci suksesnya pemilu, dalam kontek ini, bukan partai, pemerintah, birokrasi atau apalagi elit politik melainkan rakyat. Ini merupakan cermin dari semangat demokrasi.

Begitu sentralnya dan determinannya suara rakyat, sehingga dalam alam demokrasi suara rakyat disimbolkan sebagai suara Tuhan (vox populi vox dei). Ketika suara rakyat sudah disandingkan dengan suara Tuhan, betapa “sakralnya” dan luhurnya suara itu. Maka betapa dosanya orang-orang yang mengkhianati suara itu. Betapa terkutuknya para politisi yang menyelewengkan suara rakyat tersebut.

Namun kita juga patut bertanya, akankah keluhuran dan kesakralan suara rakyat itu bertahan lama. Ketika suara rakyat itu sudah dimanifestasikan dalam bentuk contrengan, kemudian dikumpulkan dan diperas menjadi angka-angka, masihkah dia mengandung kesakaralan. Apalagi kalau suara rakyat itu sudah berhasil mengantarkan seseorang atau partai politik ke puncak kemenangan atau sepuluh besar, masihkan dia dianggap sebagai suara Tuhan.

Menjadi komoditas

Inilah paradoksnya. Fakta membuktikan, konsep suara rakyat suara Tuhan itu nampak hanya ada dalam dunianya Plato, dunia idea. Ketika suara itu sudah merealitas dalam bentuk guratan pena di atas gambar calon atau parpol tertentu atau ketika suara itu telah memanifestasikan dirinya dalam bentuk jumlah angka-angka yang dikumpulkan, kemudian menjadi alat klasifikasi menang-kalah, faktanya akan menjadi lain. Ia bukan lagi suara Tuhan yang “sakral” itu, tetapi berubah menjadi barang. Barang di sini bukan sekedar benda biasa, tetapi sesuatu yang mengandung keuntungan material dan bebas diperjualbelikan. Inilah yang kemudian disebut komoditas.

Suara-suara rakyat yang sebenarnya tak ternilai harganya itu, ketika sudah masuk dalam kalkulasi politik, akhirnya menjadi komoditas politik. Suara itu akhir nya dengan bebas diperjual belikan untuk kepentingan pragmatis, dijadikan sebagai alat tawar menawar kekuasaan, sebagai alat barter untuk menduduki posisi di kabinet atau pos birokrasi lainnya.

Hidup di dunia yang tengah dikuasai oleh ‘nafsu kapitalisme’, komoditas benar-benar menjadi “kiblat” kehidupan. Komoditas bukan sekedar budaya jual beli yang berjalan wajar, tetapi sudah menjadi obyek pemujaan, menjadi budaya fetish, kata Marx. Kenapa komoditas berubah menjadi fetishisme, menjadi obyek sesembahan, karena kapitalisme telah berhasil mengubah segalanya menjadi komoditas. Apapun bentuknya, tak peduli apakah itu suara iman, suara spiritual, suara Tuhan, suara Iblis, suara orang miskin dan sebagainya, kalau sudah berada di tangan kapitalisme, maka sontak akan berubah menjadi komoditas.

Barang, seperti kata Goenawan Mohamad, adalah sesuatu yang kadang konkrit dan kadang abstrak. Begitu juga dengan suara Tuhan, meskipun ia sebenarnya lebih berwujud nilai yang abstrak, namun ketika jatuh ke tangan para politisi, seketika itu ia menjadi barang dikomoditaskan. Nilai yang ada di dalamnya bukan lagi nilai-nilai luhur yang mencerminkan kearifan dan keadilan, melainkan mutlak profite kekuasaan. Tinggi dan luhurnya suara itu, tidak lagi terletak pada dirinya sendiri, tetapi lebih berada pada nilai tukarnya. Para politisi yang bekerja mati-matian mendapatkan suara rakyat, sehingga tak jarang berlaku curang, penuh kamuflase, hipokrit, memanipulasi dan sebagainya, adalah lebih melihat unsur komoditasnya dalam suara tersebut.

Suara rakyat yang sudah terredusir menjadi komoditas itu akhirnya menjadi satu fungsi pragmatis :meraih kekuasaan. Kekuasaan siapa? Kekuasaan mereka yang berhasil meraup suara itu. Suara yang sudah terkomodifikasikan itu hanya berfungsi untuk memenuhi dan mensupport ambisi para politisi.

Amanah


Parpol-parpol yang sudah memenangkan pemilu legislatif kemarin dan calon presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti harus mampu merubah paradigmanya dalam menyikapi suara rakyat yang berhasil mereka raih. Satu hal yang harus disadari oleh para pemimpin politik adalah bahwa suara rakyat sebagai simbol dari suara Tuhan bukanlah komoditas, melainkan amanah.

Sebagai sebuah amanah suara itu harus digunakan sesuai dengan aspirasi si pemberi amanah itu. Selama ini, karena lebih diposisikan sebagai komoditas, suara rakyat sering digunakan sesuai dengan ambisi para politisi itu yang tak jarang sangat kontradiktif dengan kehendak rakyat sang pemberi suara. Dengan modal suara itu, para politisi berhasil mewujudkan ambisi politiknya, tetapi ketika menikmati posisinya itu, kebanyakan mereka mabuk dan tidak lagi ingat dengan rakyatnya.

Rakyat, lewat suaranya, memberi amanah kepada para pemimpin, pada hakekatnya bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan bersama. Sebuah kebahagiaan yang tidak hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, tetapi mencakup semua unsur masyarakat. Dengan suaranya itu rakyat menghendaki adanya perbaikan kehidupan di berbagai bidang kehidupan. Dengan suaranya itu mereka mencita-citakan agar dirinya bisa lepas dari kemiskinan yang menjeratnya, agar anak-anaknya bisa terus sekolah, agar ia bisa mempunyai lapangan kerja dan sebagainya.

Para pemimpin maupun partai politik yang sudah berhasil mengantongi suara rakyat itu sekarang maupun nanti paska pilpres pada hakekatnya sedang memikul beban berat untuk merealisasikan keinginan-keinginan masyarakat itu. Bila ini tidak bisa dipenuhi oleh para politisi, mereka sama halnya mengkhianati dan menyelewengkan amanah rakyat. Suara rakyat sangat mahal. Ia hakekatnya bukan komoditas, melainkan tanggung jawab.

Muhammad Muhibbuddin: Direktur Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY) dan koordinator studi filsafat “Linkaran ‘06” Fak. Ushuluddin Yogyakarta

Salah satu ciri khas agama Islam yang sangat menonjol adalah keterpaduannya antara ketegasan dan kelenturan yang tersebar dalam petunjuk-petunjuknya. Pada umumnya ketegasan terdapat dalam hal-hal yang menjadi tujuan (ghayat), sedangkan kelenturan menyangkut cara atau sarana mencapai tujuan (wasilah). Masalah kepemimpinan termasuk kepemimpinan politik bisa dikemukakan sebagai contoh konkrit bagi ciri khas Islam tersebut.

Dalam hal ini sekurangnya ada tiga ranah, yaitu tujuan pokok, tujuan perantara dan cara mencapai tujuan. Tegaknya keadilan, terwujudnya kesejahteraan, dan ketenteraman merupakan tujuan pokok adanya kepemimpinan. Sedangkan tegaknya kepemimpinan yang berkeadilan adalah tujuan antara yang bisa mengantarkan kepada tujuan pokok di atas. Sementara mekanisme pengangkatan pemimpin adalah cara mencapai tujuan. Dalam ranah yang terakhir inilah Islam memberi ruang gerak dan keleluasaan bagi umatnya untuk berijtihad dan memilih cara yang sesuai dengan perkembangan kehidupan.

Dalam banyak literatur fiqh siyasah (fiqh politik), dikemukakan beberapa cara pengangkatan pemimpin yang pernah terjadi dalam sejarah kepemimpinan Islam. Salah satunya adalah melalui mekanisme ikhtiyar (pemilihan), namun hak memilih hanya dimiliki oleh ahlu al-halli wa al-`aqdi (tokoh-tokoh masyarakat) yang memenuhi beberapa syarat penting, yaitu memiliki pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang kandidat yang akan dipilih; memiliki sifat `adalah (keadilan) dan memiliki kebijakan yang bisa mengantarkan kepada terpilihnya pemimpin yang ideal.

Hal ini berbeda dengan pemilihan dalam sistem demokrasi langsung yang memberikan hak pilih kepada setiap warga negara yang telah cukup umur. Di sini tidak ada perbedaan antara yang alim dengan yang awam, antara kiai dengan santri, antara pejabat puncak dengan pengayuh becak, antara suara seorang profesor dengan suara tukang cukur, dan seterusnya.

Pada dasarnya, sistem pemilihan langsung itu baik, bahkan ideal, karena memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memilih pemimpin yang disukai dan dicintai. Dalam hadits riwayat Muslim dijelaskan bahwa sebaik-baik pemimpin adalah pempimpin yang mencintai rakyat dan dicintai rakyat, dan sejelek-jelek pemimpin adalah pemimpin yang membenci rakyat dan dibenci oleh rakyat. Akan tetapi di Indonesia, sistem pemilihan langsung, baik Pilkada, Pilpres, maupun Pileg, banyak menghadapi kendala.

Kendala utama pemilihan langsung dalam konteks keindonesiaan adalah keawaman, kebutahurufan, dan kemiskinan sebagian masyarakat. Tampaknya masyarakat Indonesia sebagian besar buta politik dan tidak mengetahui syarat-syarat yang harus dimiliki pemimpin, sedangkan yang memiliki pengetahuan seringkali tidak menjatuhkan pilihan sesuai hati nuraninya. Faktor kemiskinan dari para pemilih menyebabkan suara mereka mudah dibeli dengan harga yang sangat murah. Oleh karena itu, demokrasi harus dibangun beriringan dengan peningkatan pendidikan dan pembangunan ekonomi masyarakat.

Selama kondisi kita masih seperti sekarang ini, ada sebuah pertanyaan yang perlu dijawab, perlukah taujihat (arahan) dari tokoh masyarakat, terutama tokoh agama dan para kiai sebagai pengawal moral untuk anggota masyarakat yang dianggap awam, dengan tujuan agar mereka memilih calon pemimpin yang dinilai memiliki atau lebih memiliki integritas dan kapabilitas? Ataukah, sebaiknya mereka dilepas dan dibiarkan mengikuti kehendak masing-masing?

Jawabannya, tergantung situasi dan kondisi, terutama kondisi para kandidat. Arahan dan fatwa politik kiai itu menjadi perlu, bahkan wajib bila masyarakat dihadapkan pada pilihan antara pemimpin yang baik dan yang buruk menurut pandangan para tokoh yang berkompeten. Dalam konteks yang lain, arahan politik dari para kiai bisa tidak diperlukan misalnya bila pilihan-pilihan yang ada masih dalam kategori syubuhat (remang-remang), tidak jelas halal-haramnya atau baik-buruknya, kerena persoalan yang masih syubuhat pada umumnya menjadi ajang terwujudnya khilâf (perbedaan) di antara para tokoh sendiri yang sangat potensial bagi terjadinya benturan dan disharmoni. Faktor syubuhat inilah yang menyebabkan terjadinya ketegangan di antara para kiai seperti tampak dalam beberapa kali Pilkada, Pileg, dan Pilpres. Walau tak bisa ditutupi pula, ketegangan politik di antara para kiai kerap bukan karena dilatari perbedaan ijtihad politik, melainkan karena motif duniawi lainnya. Ini yang memprihatinkan.

Dengan demikian, maka ketika arahan politik itu diperlukan, kejujuran dan keikhlasan merupakan modal utama bagi tokoh-tokoh agama dan para kiai di dalam memberikan fatwa politik. Dan, kita sangat ber-husnu al-zhan (berbaik sangka) bahkan yakin bahwa tak sedikit dari para kiai yang memiliki modal itu. Ini terbukti dengan banyaknya kiai yang lebih suka mendukung calon pemimpin hanya karena diyakini memiliki integritas dan kapabilitas dari calon lain yang diyakini akan memberikan keuntungan duniawi yang melimpah.

Oleh karena itu, fatwa politik (sebagian) kiai didasarkan pada pertimbangan etik-moral dan bukan pada kekuasaan. Mereka ingin mengarahkan dukungan kepada kandidat yang paling memenuhi kualifikasi dan standar, seperti yang mereka yakini. Namun, dukungan para kiai ini sekalilagi kerap kandas ketika berhadapan dengan politik uang. Fatwa kiai ini tak lagi didengar karena sebagian masyarakat terutama yang miskin lebih mendahulukan dan memilih kandidat yang memberi bantuan finansial, sembako, dan lain-lain.

Ke depan, saya kira itu membahayakan. Sebab, hanya orang-orang yang berkantong tebal yang akan menjadi pemimpin. Sementara mereka yang memiliki sumber dana terbatas tapi mempunyai kualifikasi pemimpin tak akan punya peluang untuk memimpin, baik di pusat maupun di daerah. Kiai sebagai tokoh agama bertugas untuk mengembalikan arah politik dari politik kekuasaan yang bersandar pada uang dan kapital semata-mata kepada politik kekuasaan yang bertunjang pada etika, moral, dan integritas. Publik secara umum perlu disadarkan bahwa pemimpin yang kuat, jujur, dan kapabel lebih didahulukan daripada pemimpin yang tidak jujur, berintegritas rendah dan melakukan politik uang.
KH Afifuddin Muhajir

;;